misyanafida blog's
Minggu, 28 April 2013
ISTIGHFAR DAN KEBERKAHANNYA
Apa yang dipersepsikan manusia tentang kegunaan istighfar?
Banyak di antara manusia mengira bahwa istighfar hanyalah sebuah permohonan ampun dan pengakuan atas laku dosa yang pernah diperbuat.Padahal, ada efek lain yang dimiliki oleh istighfar. Tapi, hal ini sering kali dialpakan banyak manusia. Cobalah minta kepada manusia untuk menyebut nama Allah SWT, Arrazzaq, misalnya, yang berarti Dia Yang Maha Memberi Rezeki.Kemudian minta sekali lagi kepada manusia yang sama untuk beristighfar. Maka, manakah di antara dua kebaikan ini yang lebih ia suka?
Banyak di antara manusia yang rupanya lebih menyukai menyebut nama Allah SWT, Arrazzaq, dibandingkan beristighfar. Itu mereka lakukan sebab mereka berharap rezeki berlimpah dari Allah SWT.Seandainya mereka tahu, dengan melazimkan istighfar, tidak hanya mereka yang akan mendapat ampunan Allah SWT. Mereka juga bakal mendapatkan banyak sekali keberkahan disebabkan istighfar yang mereka lakukan.
Dalam QS Nuh [71]: 10-13, Allah SWT berfirman, ”Maka, aku katakan kepada mereka, ‘Beristighfarlah kalian (mohonlah ampun kepada Tuhanmu) sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” Tidakkah kita perhatikan dalam ayat ini bahwa istighfar tak hanya akan mendatangkan ampunan Allah SWT? Bahkan, istighfar mendatangkan beberapa keberkahan yang teramat luar biasa.
Istighfar dalam ayat-ayat di atas memberi manusia keberkahan berupa datangnya hujan lebat yang berarti rezeki melimpah, memperbanyak keturunan, harta yang berkah, dan memberikan manusia aset serta keindahan yang dalam ayat ini diwujudkan dalam bentuk kebun dan sungai.Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyebutkan bahwa siapa orang yang terbiasa beristighfar, ia akan banyak mendapatkan efek keberkahan yang luar biasa bernilai.
”Barang siapa yang selalu beristighfar, Allah akan memberinya kelapangan dalam setiap kesempitannya. Dan, Allah akan membukakan jalan dari kesusahannya serta Allah akan memberinya rezeki dari yang tidak disangka-sangka.” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).Tiga keberkahan istighfar yang disebutkan dalam hadis ini: kelapangan hidup, terbukanya jalan, dan rezeki, senantiasa datang dari jalan yang tak terduga. Subhanallah....yuk kita perbanyak istighfar agar kita memperoleh keberkahannya.
Rabu, 18 Januari 2012
Yuk Berdoa!
Mungkin ada di antara kita yang bertanya, mengapa kita
harus berdoa? Bukankah kita sudah shalat, puasa, zakat, bahkan
haji, sudah cukuplah ibadah tersebut melindungi kita dunia-akhirat.
Eit........, siapa bilang!
Berikut ini adalah beberapa alasan kita harus berdoa, semoga bisa membuat kita
tergerak untuk mendayagunakan kekuatan doa:
1.
Doa merupakan
perintah Allah SWT.
“Dan Rabb kalian
telah berfirman: “Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan bagi
kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku
(berdo’a kepada-Ku) akan masuk neraka jahanam dalam keadaan hina dina.” (Ghafir: 60)
Logikanya,
jika Allah SWT. meminta kita berdoa kepada-Nya, tapi kita malah tidak
melakukannya, berarti kita telah menyepelekan perintah-Nya, wajar saja kalau
dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa orang-orang yang tidak mau berdoa
pada-Nya adalah orang yang menyombongkan diri, karena seperti merasa tidak
membutuhkan pertolongan dari Allah.
2. Rasulullah SAW. bersabda bahwa doa adalah ibadah.
“Sesungguhnya doa adalah ibadah” (H.R. Tirmidzi)
“Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia di hadapan Allah
daripada doa.” (Tirmidzi)
Luar biasa! Kedudukan doa
begitu tinggi, doa bernilai ibadah dan itu berarti meninggalkan doa sama dengan
mencetak dosa. Ironisnya, kebanyakan orang yang enggan berdoa justru
orang-orang pendosa, bukankah dengan ogah berdoa malah semakin memperbanyak
kalkulasi dosa kita? Padahal bisa jadi dengan berdoa, Allah berkenan
membersihkan diri kita dari dosa-dosa.
3. Malas berdoa menandakan kelalaian
Lalai itu berbeda dengan
lupa. Lupa merupakan perbuatan tidak sengaja atau tidak disadari, sehingga
orang yang lupa tidak terhitung bersalah. Sedangkan lalai terjadi dalam keadaan
tahu dan sadar, tetapi malas mengerjakannya, orang yang lalai akan mendapat
ganjaran hukuman yang berat karena ia meremehkan ”aturan”.
Begitu pun
dalam berdoa, jika kita secara sadar meninggalkan doa, padahal kita ingat bahwa
seharusnya kita memanjatkan doa dalam kondisi tersebut, itu menunjukkan
kelalaian diri kita.
4. Doa dapat membuka pintu rahmat Allah
“Barangsiapa di antara kalian yang
dibukakan baginya pintu doa, niscaya akan dibukakan baginya pintu-pintu rahmat.
Dan tidaklah Allah dimintai sesuatu yang lebih Allah cintai dari meminta
keselamatan (di dunia dan akhirat). Sesungguhnya doa itu bermanfaat pada
hal-hal yang sudah terjadi ataupun yang belum terjadi, maka hendaklah berdoa
wahai hamba-hamba Allah!” (H.R.
At-Tirmidzi)
Untuk yang sering komplain, merasa hidup susah, kerja susah, nganggur susah,
semua serba susah, bisa jadi karena kita belum menggunakan doa sebagai senjata,
kita berdoa masih asal jadi dan asal bunyi. Karena sejatinya, Allah pasti
membuka rahmat-Nya bagi orang-orang yang meminta pada-Nya. Allah tidak sama
dengan manusia yang makin diminta makin kesal, karena kalau kita tidak meminta
pada-Nya, bisa meminta pada siapa lagi?
Coba
perhatikan adab kalau kita menawarkan proposal pada perusahaan besar! Kita
pasti mencari waktu yang tepat, berpakaian rapi jali, di awal pertemuan kita
akan "memuji" dulu perusahaan itu, dengan tujuan merayu supaya
proposal diloloskan. Kalau meminta bantuan ke perusahaan saja ada adabnya,
apalagi meminta bantuan pada Allah.
Berikut adalah adab berdoa, siapa tahu selama ini doa kita tidak dikabulkan
karena ada adab yang tidak kita penuhi:
1. Mengawali
dengan Pujian dan shalawat
"Tatkalah Rasulullah SAW. duduk, tiba-tiba
masuk seorang laki-laki lalu berdoa: “Allahummaghfirli warhamni.” Maka
Rasulullah SAW. bersabda: “Kamu tergesa-gesa wahai orang yang berdoa, jika kamu
berdoa maka duduklah, lalu ucapkan pujian kepada Allah dengan sesuatu yang
layak bagi-Nya, dan bersalawatlah kepadaku kemudian berdoalah.” Kemudian ada laki-laki
lain berdoa setelah itu, ia mengucapkan pujian kepada Allah dan bersalawat
kepada nabi, maka nabi bersabda kepadanya:” Wahai orang yang berdoa, berdoalah
engkau niscaya dikabulkan.” (HR: Tirmizi, disahihkan Al-Bani).
Selain
sebagai etika dalam berdoa, mengucap shalawat pada Rasulullah SAW. dapat
menambah makbulnya doa kita, maka perbanyaklah shalawat pada Nabi! Jangan salah
paham, bukannya Allah SWT. atau Nabi SAW. yang membutuhkan pujian dari kita,
tetapi kitalah yang BUTUH memuji Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi karena kita
tidak mengerti, maka Allah dan Rasul-Nya mengajarkan pada kita untuk melakukan
puji-pujian sebelum berdoa, dan kita dengan keji berprasangka bahwa Allah dan
Rasul-Nya haus pujian. Betapa sesatnya prasangka kita itu.
Bayangkan... kalau kita hanya bisa menolong 10 orang dari ribuan orang yang
meminta pertolongan pada kita, kira-kira kita akan mengutamakan siapa untuk
ditolong? Pastinya orang-orang yang lebih dekat dengan kita, orang-orang yang
baik, dan yang tau berterimakasih. Yah begitulah kira-kira analoginya,
bagaimana mungkin Rasulullah SAW. bisa menolong kita dan memberi syafaatnya
pada kita, kalau berterimakasih padanya (baca: bershalawat) saja kita ogah dan
pelit. Pasti beliau SAW. lebih memilih untuk memberi syafaat pada orang-orang
yang banyak memuji Allah dan bershalawat padanya. Maka, perbanyak pujian dan
shalawat agar kita pantas untuk diberi syafaat.
2. Bersungguh-sungguh
dan Yakin dalam Berdoa
“Jika salah seorang dari kalian berdoa, maka hendaknya
berketetapan hati dalam meminta, dan janganlah mengatakan: Ya Allah jika engkau
mau berilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang bisa memaksa Allah.” ( HR. Bukhari Muslim)
“Berdo’alah kalian kepada Allah dalam keadaan kalian yakin
akan dikabulkan. Sesungguhnya Allah tidak menerima do’a dari hati yang lalai
lagi main-main (tidak bersungguh-sungguh).” (HR. At-Tirmidzi)
Terkadang
kita sendiri tidak yakin apa yang kita mau. Kita bingung apa sih sebenarnya
yang kita inginkan, bagaimana mungkin Allah mengabulkan doa yang dipanjatkan
dengan ragu-ragu dan setengah hati?
Dengan berdoa, sebenarnya kita sedang
"dipaksa" belajar untuk mengenali diri sendiri. Apa sih yang kita
inginkan untuk diri kita? Dua tahun dari sekarang kita mau seperti apa? Lima
tahun dari sekarang kita ingin memiliki apa saja dan ingin menjadi apa? Kita
ingin hidup yang seperti apa?
So,....................... pikirkan
apa yang sebenarnya kita inginkan dan bersungguh-sungguhlah dalam meminta!
3. Berwudhu
dan Mengangkat Kedua Tangan
"Tatkala Rasulullah SAW. selesai dari perang
Hunain – Abu Musa mengatakan: Beliau meminta air lalu berwudhu, kemudian
mengangkat kedua tangannya seraya berdoa:” Ya Allah ampunilah Ubaid bin Amir.”
Dan aku melihat putih ketiaknya." ( HR: Bukhari Muslim)
Berwudhu
dan mengangkat kedua tangan dapat menambah kekhusyuan kita dalam berdoa, karena
ini menandakan bahwa kita mempersiapkan dengan baik sebelum berdoa.
4. Merendahkan
suara dalam berdoa
“Wahai manusia, sayangilah diri kalian, sesungguhnya
kalian tidak berdoa kepada yang tuli dan tidak pula yang jauh, kalian berdoa
kepada Yang Maha Mendengar dan Dekat, dan Dia selalu menyertaimu.” ( HR: Bukhari)
5. Memilih
waktu-waktu utama untuk berdoa
Seperti
saat-saat setelah shalat, saat azan, antara azan dan qamat, sepertiga malam
terakhir, hari Jumat, hari Arafah, saat turun hujan, saat sujud, dll.
6. Tidak
Mendoakan Keburukan
“Janganlah kalian
mendoakan jelek terhadap diri kalian, jangan pula terhadap anak-anak dan harta
kalian, jangan sampai kalian mendapati satu saat Allah diminta satu permintaan
lalu Dia mengabulkan untuk kalian.“ (
HR. Muslim).
Jangan lupa juga bahwa ketika kita berdoa untuk orang lain, ada malaikat yang
mengaminkan dan berkata "Dan begitu pula bagimu." Jadi ketika kita
mendoakan hal buruk untuk orang lain, bisa-bisa hal tersebut diaminkan pula
untuk kita.
7. Tidak
Terburu-buru
Lucu
ketika kita berdoa dan "maksa" doa tersebut langsung terkabul
seketika. Mengajukan proposal saja tidak langsung dapat jawaban saat itu juga,
harus bersabar menunggu panggilan, bahkan mungkin harus bersiap-siap mengajukan
kembali proposal yang sama beberapa kali, demi menunjukkan kesungguhan kita
dalam meminta.
Lalu kapankah kita
dikatakan terburu-buru dalam berdoa?
“Senantiasa dikabulkan
doa seorang hamba selama ia tidak berdo’a dalam perkara dosa atau dalam rangka
memutus hubungan silaturrahim, serta tidak terburu-buru.” Maka ada yang
bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahualaihi wasallam, apa maksudnya
terburu-buru (dalam doa)?” Beliau shallallahu alaihi wasallam menjawab: “Yaitu
orang yang berdoa tersebut berkata: ‘Saya sudah berdoa dan berdoa, tapi belum
juga dikabulkan. Kemudian ia jenuh/bosan untuk berdoa dan akhirnya meninggalkan
doa (tidak lagi berdoa).”
8. Menjauhkan
Makanan Haram
"Seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh dalam
keadaan rambutnya acak-acakan dan penuh debu, kemudian ia (laki-laki tersebut)
mengangkat tangannya ke langit (seraya berdoa), “Ya Rabbi, ya Rabbi,” akan
tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan
dari yang haram. Maka bagaimanakah doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu
anhu)
Perkara haram bukan hanya masalah fisik, meski kita tidak pernah menelan daging
a1, b2, bangkai, atau menenggak alkohol, sake, arak, dan sebangsanya, tapi
kalau ternyata uang yang kita belikan beras adalah uang hasil korupsi, maka
beras tersebut sudah berubah menjadi makanan haram. Lalu bagaimana mungkin kita
berharap doa kita dikabulkan jika kita memakan sesuatu yang haram?
Terkadang kita benar-benar memohon sesuatu pada Allah
yang butuh dikabulkan dengan cepat. Di saat inilah doa benar-benar menjadi
”senjata” yang dapat kita pergunakan sebagai kekuatan, karena kita yakin
sepenuh jiwa bahwa bagi Allah segala sesuatu mudah, Allah tidak mengenal waktu,
bagi-Nya cukup mengatakan ”Terjadi!” maka terjadilah detik itu juga.
Rasulullah SAW. Pernah mencontohkan ”doa yang mengancam”, dalam perang badar,
ketika ia melihat jumlah kaum musyrikin sebanyak seribu sedang pasukan islam
tiga ratus Sembilan belas, ia segera menghadap kiblat seraya mengangkat kedua
tangannya berdoa:
“Ya Allah wujudkanlah untuk kami apa yang engkau janjikan,
ya Allah berikanlah kepada kami apa yang engkau janjikan, ya Allah jika
sekumpulan kaum muslimin ini binasa, maka tidak ada yang akan menyembah engkau
di muka bumi ini.” Rasulullah saw terus melantunkan doa seraya membentangkan
kedua tangannya menghadap kiblat hingga selempangnya jatuh,” (HR. Muslim)
Begitu pula nabi Ayub a.s., ia menggunakan ”senjata” doa ketika mengalami
berbagai macam cobaan, setelah hartanya musnah, keluarganya tercerai berai,
penyakit berat pun ditimpakan padanya, ia terisoler dari manusia, dalam kondisi
seperti itu ia tetap bersabar dan mengharap ridho Allah SWT, dan ketika cobaan
itu telah berlarut lama, ia berdoa:
“Dan ingatlah (kisah Ayub), ketika ia menyeru Tuhannya:
“(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan
Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. Maka Kami pun memeperkenankan
seruannya itu, lalu kami lenyapkan penyakit yang ada padanya…” ( QS: Al-Anbiya: 83-84).
Di saat rasa putus asa datang mendera, ”bunuh” segera dengan ”senjata”
pamungkas yang kita miliki, yaitu doa! Percayalah bahwa Allah tidak mungkin
menyia-nyiakan kebaikan yang pernah kita lakukan! Panjatkan doa dengan menyebut
amalan yang kita lakukan dengan ikhlas dan hanya mengharap keridhoan Allah
saja.
Sama seperti 3 pemuda yang terjebak dalam goa karena pintu goa tertutup oleh
batu besar. Masing-masing pemuda tersebut berdoa sambil menyebutkan amal
kebajikan terbaik yang pernah mereka lakukan, mereka meminta pada Allah untuk
mengeluarkan mereka dari goa tersebut jika memang amal kebajikan yang mereka
lakukan diterima oleh-Nya. Dan, benar saja, batu besar itu tergeser sehingga
mereka bisa keluar dari sana.
Seajaib itulah doa, maka apa yang membuat kita ogah berdoa pada-Nya?
Sabtu, 05 Februari 2011
Sebuah Ironi " Budaya Menaikan Nilai "
Kalau anda, para pendidik, sempat membaca totto chan, buku yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi, seorang mantan murid SD yang didirikan oleh Sosaku Kobayashi, sebuah SD yang sangat revolusioner dalam gaya belajar dan pengajarannya, anda akan berpikir ulang ketika anda akan mengatrol nilai para murid. Sekolah yang didirikan oleh Kobayashi adalah sekolah yang benar-benar unik. Bagaimana tidak unik jika metode pendidikan Keboyashi, seperti yang ditulis oleh Kuroyanagi di halaman-halaman terakhir bukunya, adalah sebuah cara mendidik yang dilandasi rasa yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan watak yang baik. Bahwa kalau ada anak yang tidak berwatak baik, berarti watak baik itu telah dicemari dan dirusak oleh lingkungan yang buruk atau pengaruh negatif dari orang dewasa disekitarnya. Kobayashi mendirikan sekolah itu dengan tujuan untuk mengembalikan watak baik anak-anak dan mengembangkannya, sehingga mereka akan memiliki kepribadian yang khas di masa dewasanya.
Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras.
Yang kurang tepat, sehingga timbul budaya menaikkan nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang 'hitam' sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya 'merah', orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh.
'Penyakit' ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut pendidik ( yang tidak mau dianggap sebagai pendidik gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ) ikut juga berperan dengan mengajarkan ketidak jujuran dengan alih-alih memberikan pelajaran tambahan yang temanya ternyata memberikan pembahasan soal yang akan diujiankan , sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru.
Orang tua, kita (para pendidik), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris. Siswa saya itu tidak menyukai pelajaran yang saya ampu. Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam 'kunci' untuk keluar dari permakurang tepatan-permakurang tepatan yang
dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka.
Kalau kita, para pendidik, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka.
Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka.
Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat pendidik dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan pendidik. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai 'fantastis' di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur.
Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Buya Hamka, H. Agus Salim dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita.
Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Tukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa menaikkan nilai itu katrok.
( Disarikan dari Blog Guru Gunawan )
Maka, mengacu pada keyakinan Kobayashi, jika kita mengatrol nilai siswa berarti kita, sadar atau tidak, telah merubah fungsi sekolah yang semula sebagai tempat pencerahan pikiran dan perilaku menjadi lingkungan yang ikut andil dalam merusak watak baik anak. Di sekolah, mereka, secara tidak langsung, diajari kecurangan dan ketidakjujuran. Mereka belajar untuk mencari jalan pintas dan tidak belajar untuk menjadi ulet dan pekerja keras.
Yang kurang tepat, sehingga timbul budaya menaikkan nilai, adalah pandangan bahwa kecerdasan diukur dari memiliki nilai-nilai sempurna di setiap mata pelajaran-jika seorang anak tidak mendapat nilai yang baik, pasti dia tidak cerdas. Sungguh suatu pandangan yang bodoh. Kita bisa lihat di sekitar. Anak yang pulang dengan buku raport yang 'hitam' sempurna, orang tua akan sangat gembira, membelikannya hadiah dan membanggakannya dihadapan orang lain. Tetapi ketika nilainya 'merah', orang tua akan cemberut, memarahi dan menghukum, bahkan mungkin malu dengan anaknya yang (dengan sangat sembrono dicap sebagai anak) bodoh.
'Penyakit' ini tidak hanya menjangkiti orang tua, tetapi, kemudian, berturut-turut pendidik ( yang tidak mau dianggap sebagai pendidik gagal karena tidak bisa mencerdaskan siswa ) ikut juga berperan dengan mengajarkan ketidak jujuran dengan alih-alih memberikan pelajaran tambahan yang temanya ternyata memberikan pembahasan soal yang akan diujiankan , sekolah (yang ogah disebut sebagai sekolah tidak bermutu) dan seterusnya, sehingga lama-kelamaan pengatrolan nilai menjadi sebuah budaya baru.
Orang tua, kita (para pendidik), sekolah dan seterusnya lupa bahwa esensi pendidikan bukanlah pada angka yang ditulis di lembar rapot atau transkrip nilai. Kita lupa bahwa pendidikan adalah sebuah proses yang panjang. Proses yang melelahkan inilah yang paling penting. Saya, mengajar bahasa Inggris di sekolah pinggiran kota, pernah mendengar siswa saya yang mengatakan bahwa dia tidak akan menjual es cendol sampai ke Inggris. Siswa saya itu tidak menyukai pelajaran yang saya ampu. Yang dia maksudkan dengan perkataannya tadi adalah, dia tidak perlu fasih berbahasa Inggris untuk mendapatkan uang. Saya jawab memang betul. Dia bisa jadi tidak akan bergantung pada keahliannya berbahasa Inggris untuk mendapatkan penghidupan, tetapi jika dia tekun belajar bahasa Inggris ( dan pelajaran-pelajaran lain ) maka sebetulnya dia akan terbiasa untuk berpikir secara ajeg (kontinyu). Kalau dia sudah terbiasa berpikir secara ajeg, dia akan mendapatkan semacam 'kunci' untuk keluar dari permakurang tepatan-permakurang tepatan yang
dia temui di masa mendatang. Tetangga saya, seorang sarjana pertanian jurusan ilmu tanah keluaran IPB, bekerja sebagai pegawai bank yang sukses. Taufiq Ismail, penyair hebat itu, adalah dokter hewan lulusan IPB juga. Apakah Tufiq Ismail bodoh hanya karena ia lebih fokus pada kepenyairannya daripada menjadi dokter hewan? Sekali lagi, proses lebih penting daripada angka.
Kalau kita, para pendidik, mau sedikit meluangkan waktu membaca Frames of Mind, buku yang ditulis oleh Howard Gardner, profesor kognisi dan edukasi di Universitas Harvard, kita pasti tidak akan memaksa untuk menuliskan nilai yang tidak sesuai dengan keadaan anak didik kita. Gardner mengatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya berupa kecerdasan linguistik dan matematis logis seperti yang telah diakui secara luas. Tetapi masih ada lagi kecerdasan yang lain seperti kecerdasan musikal, kecerdasan spasial dan visual, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal serta kecerdasan naturalis. Perbedaan tipe kecerdasan antara orang perorang akan mempengaruhi gaya belajar, gaya bekerja dan karakter mereka.
Jika seorang anak di kelas kita adalah anak dengan tipe kecedasan kinestetis, mengapa kita harus memaksa dia agar cerdas secara matematis-logis? Memang bukan suatu hal yang mustahil, jika mau kerja keras dan tekun, seseorang dengan jenis kecerdasan tertentu akan mendapatkan jenis kecerdasan yang lain. Tetapi akan ada banyak waktu yang terbuang. Sedangkan kalau ia menekuni apa yang menjadi jenis kecerdasannya, dia mungkin telah dapat mengembangkannya dengan sangat baik. Sekarang apakah tidak janggal jika anak-anak- saya tuliskan secara jamak, bukan tunggal- kita secara akal-akalan tampak cerdas di semua pelajaran? Seharusnya sekolah menjadi lingkungan yang tepat bagi tiap-tiap siswa untuk mengembangkan tipe kecerdasan mereka.
Pengatrolan nilai, alih-alih meningkatkan martabat pendidik dan sekolah, hanya akan mematikan kecerdasan dan motivasi siswa. Siswa yang dapat nilai baik, padahal dia tahu kalau dia tidak berhak nilai itu, cenderung akan meremehkan pendidik. Begitu juga dengan siswa yang benar-benar cerdas, yang mati semangat belajarnya karena merasa jerih payahnya selama ini tidak dihargai. Akan lebih celaka lagi ketika anak-anak yang mendapat nilai 'fantastis' di raport, tidak lolos tes masuk SMA. Angka-angka itu tidak berguna lagi. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah pun luntur.
Kita pernah memiliki tokoh-tokoh besar seperti Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, Buya Hamka, H. Agus Salim dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh terkenal dan disegani tidak hanya dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Mereka adalah produk pendidikan di masa itu. Sedangkan sekarang, mengapa pendidikan kita saat ini gagal melahirkan tokoh-tokoh besar seperti mereka? Karena pendidikan saat itu menyakini bahwa pendidikan adalah sebuah proses. Yang dilalui setapak demi setapak. Sedangkan pendidikan saat ini sangat mendewakan hasil, bukan proses. Perubahan paradigma pendidikan kita ini tidaklah berdiri sendiri melainkan dampak dari perubahan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Lihatlah sinetron-sinetron kita, lihatlah tayangan-tayangan untuk mencari idola-idola yang banyak peminat, kesemuanya itu mendidik itu untuk bergaya hidup senang, tetapi dengan usaha minimal. Mental seperti ini telah merasuki sistem pendidikan kita.
Kita harus berorientasi pada jangka panjang, bukan berorientasi pada jangka pendek. Dengan demikian, kalau anda rajin melihat empat mata-nya Tukul, anda akan berpandangan, bukan hanya menirukan, bahwa menaikkan nilai itu katrok.
( Disarikan dari Blog Guru Gunawan )
Minggu, 23 Januari 2011
Tak Ada Kata Terlambat
Suatu hari ketika mengajar bahasa Indonesia saat itu materinya tentang " Membaca Cerita " kebetulan penghuni kelasnya mujahid semua,...saya bertanya " siapa yang suka membaca buku cerita ? "..dgn serempak mereka menjawab........" tidaaaaaaaaaaaaaak suka " pertanyaan diulangi lagi " siapa yg di rumah punya buku ceria / kartun / komik ? "....dengan lagu yg sama mereka menjawab " tidak punya " ketika di tanya mengapa mereka tidak suka dengan berbagai dalih dan alasan mereka ungkapkan yang intinya sich.....mereka malas untuk membaca....akhirnya................ketika keluar pertanyaan " Apa yg kamu senangi/sukai?" hm......hm....hm.....luar biasa .mereka semua menjawab dengan suara yang lantang...mau tahu jawabannya!! " GAAMEEEEEEEEEEEEEEEEESSSS"!!!! , dan dengan semangat satu-persatu jenis games disebutkan saat itu perasaan saya bercampur aduk sedih,...miris. prihatin.....ingin menangis rasanya.....karena tadinya berharap bukan itu jawabanya.( ya Allah mudahkanlah hamba dalam memberikan bimbingan dan motivasi kpd mereka ).....sambil tersenyum kupandangi mereka.....adakah yg salah......??? mengapa dan ada apa dengan semua ini...??? mengapa mereka lebih tertarik kepada permainan ?? mengapa mereka bisa berlama-lama untuk main games dan kadang2 sampai waktu sholat terlewat?? mengapa mereka rela menabung ( kadang2 uang jajannya) hanya untuk ke warnet dan asyik dgn gamesnya??............ach...biarlah ....tanya itu waktu yg akan menjawabnya.
Pada saat itu...terlintas dalam ingatan tentang kisah seorang penulis/pengarang dengan komunitasnya yg dikenal dengan " RUMAH DUNIA" yg berhasil membangun kesadaran, menebarkan harapan2, mewujukan mimpi2 lewat membaca dan menulis kpd anak2 kampung di lingkungan sekitar rumahnya......sehingga dari anak-anak kampung itu terlahir karya-karya yg luar biasa...........akhirnya kisah ini ku ceritakan kepada mereka............Subhanallah .....mereka semua menyimak dan mendengarkan ceritaku dengan antusias....tak terasa bel,,,,berbunyi tanda usai pelajaran cerita pun diakhiri .....tapi mereka semua berkata "...lanjutin dong ceritanya...bu....." saya katakan " nanti lagi.....ya khan masih ada waktu " mereka bersuara "..yach bu kalo nanti nggak seru "!!
Duch....senengnya.....Ya Allah ternyata mereka adalah anak2 yg luar biasa....buktinya mereka masih mau mendengarkan dengan antusias cerita saya.....mudah-mudahan ini awal yg baik...untuk bisa membangkitkan semangat dan motivasi mereka agar mencintai budaya membaca...tak ada kata terlambat,...untuk memulai sesuatu yg baik.( PR-nya nambah lagi.dech.....harus punya stok cerita yg banyaak)
Thanks to : Gola Gong atas inspirasinya
Villa Makmur 2, Ahad 23 Januari 2011
Pada saat itu...terlintas dalam ingatan tentang kisah seorang penulis/pengarang dengan komunitasnya yg dikenal dengan " RUMAH DUNIA" yg berhasil membangun kesadaran, menebarkan harapan2, mewujukan mimpi2 lewat membaca dan menulis kpd anak2 kampung di lingkungan sekitar rumahnya......sehingga dari anak-anak kampung itu terlahir karya-karya yg luar biasa...........akhirnya kisah ini ku ceritakan kepada mereka............Subhanallah .....mereka semua menyimak dan mendengarkan ceritaku dengan antusias....tak terasa bel,,,,berbunyi tanda usai pelajaran cerita pun diakhiri .....tapi mereka semua berkata "...lanjutin dong ceritanya...bu....." saya katakan " nanti lagi.....ya khan masih ada waktu " mereka bersuara "..yach bu kalo nanti nggak seru "!!
Duch....senengnya.....Ya Allah ternyata mereka adalah anak2 yg luar biasa....buktinya mereka masih mau mendengarkan dengan antusias cerita saya.....mudah-mudahan ini awal yg baik...untuk bisa membangkitkan semangat dan motivasi mereka agar mencintai budaya membaca...tak ada kata terlambat,...untuk memulai sesuatu yg baik.( PR-nya nambah lagi.dech.....harus punya stok cerita yg banyaak)
Thanks to : Gola Gong atas inspirasinya
Villa Makmur 2, Ahad 23 Januari 2011
Minggu, 16 Januari 2011
Pertemuan 26-10-1996
Sejak awal pertemuan ku coba tuk pahami atas Takdir-Nya dan ternyata sangat kusyukuri, mengapa harus bertemu dan hidup bersamamu..........
EMPAT KEKUATAN MENANAM NILAI
Ada empat kekuatan yang disarankan untuk dimiliki para orang tua. Kekuatan yang membuat proses penanaman nilai-nilai berjalan secara efektif. Kekuatan untuk mengatasi rasa kecewa dan putus asa ketika apa yang diharapkan pada anak belum tercapai. Kekuatan untuk tidak berhenti berusaha dalam mendidik anak bagaimanapun keadaannya. Kekuatan untuk selalu memiliki harapan akan kebaikan anak.
Kekuatan-kekuatan itu bukan hanya harus kita miliki tapi juga harus digali seiring dengan bertambahnya umur anak kita. Empat kekuatan itu adalah :
Kekuatan Keteladanan
Tidak ada efektifitas melebihi keteladanan dari orang tua pada anak dalam proses menanamkan nilai-nilai, terutama nilai religius. Keteladanan akan menjadikan segala yang diajarkan pada anak menjadi bermakna, demikian pula sebaliknya, segala yang diajarkan menjadi tidak bermakna bagi anak ketika tidak ada keteladanan dari orang tua.
Bahkan sesuatu yang sudah tertanam pada diri anak bisa menjadi hancur berantakan ketika anak melihat contoh yang berlawanan dari orang tua mereka. Ada dua prinsip dalam masalah ketedanan yang harus diingat, pertama : kita hanya bisa memberi sesuatu yang kita miliki, kedua : mengubah perilaku harus dengan perilaku, mengubah hati harus dengan hati. Jika kita ingin nilai-nilai agama dan kebaikan menjadi perilaku anak kita, maka nilai-nilai itu harus kita miliki dan sudah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari.
Kekuatan Ilmu
Semakin dalam ilmu seseorang tentang mendidik anak, membuat paradigmanya terhadap anak semakin benar. Paradigma yang benar tentang anak akan membuat seseorang bersikap dan berperilaku benar terhadap anak.
Betapa banyak anak dirugikan karena kesalahan paradigma orang tua mereka. Oleh karena itu para orang tua harus terus belajar dan belajar tentang siapa sesungguhnya anak itu. ”makhluk” apakah mereka, bagaimana karakternya, apa kecenderungannya, apa potensinya, dan sebagainya.
Orang tua yang memiliki keluasan ilmu tentang mendidik akan lebih bijak, tidak mudah marah, dan kecewa dalam menghadapi anak mereka. Disamping itu, mereka juga akan lebih efektif dalam proses menanam nilai-nilai karena memahami tahapan-tahapannya, dan lebih kaya dengan alternatif solusi jika sebuah penanaman nilai belum berhasil.
Kekuatan ilmu itu bisa digali melalui membaca, sharing dengan orang tua lain, mengikuti seminar atau pelatihan tentang parenting. Jadilah orang tua yang memahami, bukan yang minta dipahami oleh anak. Hal tersebut hanya bisa dicapai dengan kekuatan ilmu.
Kekuatan Sabar
Apakah anda langsung menjadi orang baik seperti sekarang ini ketika dilahirkan ? Tentu tidak, untuk menjadi baik kita membutuhkan proses panjang. Demikian pula anak kita, mereka juga membutuhkan proses yang panjang dan lama untuk menjadi baik.
Oleh sebab itu, dibutuhkan kekuatan sabar, sabar menunggu hasil. Sabar untuk terus melakukan hal-hal baik pada anak dan tidak melakukan hal-hal buruk pada anak. Sabar untuk selalu memberi reward pada hal-hal baik yang dilakukan anak dan terus berusaha mengubah hal-hal buruk pada anak.
Al Qur’an mengajarkan pada kita agar menjadikan sabar sebagai kekuatan penolong kita , wasta’inu bis shobri was sholah. Allah sangat mencintai orang-orang yang sabar, innallaha ma’as shobirin. Kekuatan sabar inilah yang akan membuat kita tidak pernah berhenti untuk berusaha, walau harus berulang kali gagal.
Kekuatan Do’a
Ketika semua ikhtiar dalam mendidik dan menanam sudah dilakukan dan hasilnya masih belum sesuai harapan maka doa adalah kekuatan terakhir dan senjata pamungkasnya.
Kekuatan yang akan terus memberi harapan baik dan positif bahwa pada akhirnya kelak anak kita akan menjadi baik. Kekuatan yang mampu menembus batas, batas yang tidak bisa dijangkau oleh kekuatan-kekuatan yang lain.
Doa juga bisa menjadikan segala usaha menanam nilai-nilai agama dan kebaikan pada anak menjadi lebih sederhana. Kesederhanaan itu dikarenakan ada campur tangan Allah sehingga proses menanam menjadi sangat efektif dan efisien.
Sudahkah kita memanfaatkan saat-saat mustajabah untuk mendoakan anak-anak kita? Saat-saat mustajabah (dikabulkannya doa) itu antara lain : saat berbuka puasa, saat wukuf di padang arafah, saat setelah salam dalam shalat, dan saat tengah malam ketika bertahajud.
Jika dijumpai hasil menanam nilai-nilai pada anak tersebut di atas belum sesuai harapan atau gagal maka hal yang pertama harus dipertanyakan adalah sudah cukupkah doa kita untuk mereka pada saat-saat yang mustajabah itu.
Langganan:
Postingan (Atom)